“ DIANG INGSUN DAN RADEN PENGANTIN”
(Asal Mula Gunung Batu Benawa)’’
Menurut sebuah kisah orang bahari
yang sudah lama di ketahui oleh penduduk daerah Hulu Sungai Tengah dan masyarakat
Kalimantan Salatan, Gunung Batu Benawa itu asalnya dari sebuah kapal
(benawa) yang menjadi batu.
Dalam sebuah desa yang sunyi, tinggallah dua orang manusia, Ibu dan anak,
ibunya bernama Diang Ingsun. Diang Ingsun dengan anak tunggalnya yang
bernama Raden Pengantin. Ayahnya sudah lama meninggal dunia saat Raden
Pengantin masih anak-anak. Sebagai orang desa penghidupan mereka,sangatlah
sederhana seperti kebanyakan orang desa lainnya.
Setelah
ayah Raden Pengantin meninggal dunia sebagai kepala keluarga tidak ada lagi,
maka kehidupan Raden Penganten itu talah
berubah jadi miskin. Yang dapat dikerjakan oleh Raden Penganten itu hanyalah
menanam padi di sawah dengan sayur-sayuran di dekat rumah mereka. Kadang-kadang
mencari kayu api ke hutan atau memetik buah-buahan yang bisa
dimakan di hutan.
Yang
sering dikerjakan ibu dan anak itu adalah mencari ikan dengan perahu kecil yang
dayungnya sudah tak layak pakai lagi. Perahu kecil dan dayungnya sudah
banyak berjasa bagi mreka berdua karena dengan perahu kecil itulah mereka bisa
mencari ikan di sungai desa itu. Mereka berdua saling saying menyayangi,
mengingat tidak ada lagi keluarga dekat mereka.
Beberapa
tahun kemudia,Raden Pengantin telah menjadi pemuda yang tampan dan
pintar. Kemudian terpikir olehnya untuk merubah nasib di masa yang akan datang.
Pada suatu malam Raden Pengantin menyampaikan maksudnya kepada ibunya.
“Ibu! Saya mau berkelana ke
daerah-daerah lain untuk merubah nasib kita, saya harap Ibu mengizinkan saya.
Diang
Ingsun kaget, tidak di sangka-sangka ucapan Raden Pangantin anak
tunggalnya mau meninggalkannya sendiarian.
“Anakku
Raden Pengantin ! kamu sudah tahu, umurku sudah tua, mau kamu tinggalkanlah nak
… ! Dengan usiaku yang sudah tua apa lagi yang bisa kukerjakan kalaunya tidak
ada bantuan darimu nak … !”
Diang
Ingsun menangis, hatinya teramat sedih dan mulutnya tidak bisa berbicara
banyak. Meskipun begitu, niat Raden Pengantin tetap saja dalam
pendiriannya mau pergi ke daerah-daerah lain untuk mencari pekerjaan dan dia
berbicara lagi dengan ibunya dengan bermacam-macam alasan.
“Nanti,
kalau saya sukses nanti, saya ingin memperbesar rumah kita ini dan ibu tidak
akan bekerja lagi, cukup santai-santai saja menikmati hidup” kata Raden
Pengantin berusaha meyakinkan ibunya.
Seperti
itulah Raden Pengantin berulang-ulang menyampaikan niatnya kepada ibunya Diang
Ingsun, akhirnya ibunya terpaksa mengabulkan kehendak anak tunggalnya itu.
Dengan
semangat dan tekad hati yang besar akhirnya berangkat juga Raden
Pengantin di pagi harinya diantar ibunya dan di do’akan sambil menangis.
Desa
yang sunyi itu bertambah sunyi lagi,sesudah Raden Pengantin meninggalkan rumahnya
yang sudah reot itu. Diang Ingsun ibunya yang sudah tua tidak ada daya upaya
lagi beliau selalu mendo’akan supaya anaknya selamat dan mendapat rejeki hingga
sukses. Do’a ibu yang sudah tua penuh khusyu’ rupanya mendapatkan
rahmat dari Allah SWT.. Ternyata nasib Raden Pengantin bertambah lebih baik berada
di daerah lain.
Wajahnya
yang tampan dan otaknya yang cerdas ditambah dengan sifatnya yang jujur
menjadikan Raden Penganten banyak disukai orang. Kalau dulu Raden Pengantin
pekerjaannya hanya menjadi buruh, kemudian sedikt demi sedikit seiring
berjalannya waktu kedudukannya berubah menjadi lebih baik. Akhirnya Raden
Pengantin mempunyai usaha yang besar dan mempunyai puluhan orang
karyawan yang bekerja di tempatnya. Raden Pengantin ternyata mempunyai
kepintaran dalam mengurusi usahanya. Dia akrab dengan raja di daerah itu.
Itu
sebabnya dia pada akhirnya menikah dengan perawan yang cantik, puteri raja dari
Jawa. Baru
saja Raden Pengantin melangsungkan perkawinannya dengan puteri yang
cantik dari kerajaan daerah sebarang itu, dia berniat mau berbulan madu pulang
ke desa, dia mau menemui ibunya Diang Ingsun. Niat
Raden Pangantin itu dia sampaikan kepada isterinya.
“Alangkah
indahnya bulan madu kita,apabila kita pergi ke daerah seberang sekaligus
menjenguk ibuku. Aku sudah rindu dengan ibu yang melahirkanku, kamu mau kan
saying …?” kata Raden Penganten kepada isterinya.
Isterinya yang cantik itu tersenyum
dan menjawab ramah. “Sayang, kamu punya kapal kan, saya menurut saja apa yang
menjadi kehendakmu untuk berlayar sekaligus menjenguk orang tua kita.”
Begitulah
benawa atau kapal Raden Pengantin itu berlayar dengan megah mengarungi laut
Jawa menuju desa Diang Ingsun. Kabar kedatangan benawa yang besar
itu cepat tersiar kabarnya ke desa yang sunyi itu. Masyarakat desa menjadi
heboh, sebab mereka belum pernah membayangkan bagaimana bentuk sebuah
benawa. Apalagi kalau benawa itu milik Raden Pengantin yang dulu
masih anak-anak di desa ini.
Pada
hari yang cerah itu datanglah benawa yang besar itu ke daerah pantai desa Diang
Ingsun. Pas mendengar benawa sudah datang dengan segala kemegahannya, Diang
Ingsun cepat-cepat mengambil perahu kecilnya, beliau tergopoh-gopoh mau
jatuh, dan untungnya ada tetangga yang membantu beliau di saat beliau
tergesa-gesa untuk menaiki perahu kecil itu.
Masyarakat
desa yang tinggal disitu terkesima semuanya melihat benawa itu. Diang Ingsun
tidak sabar lagi mau melihat kedatangan Raden Penganten yang sangat
dirindukannya. Akhirnya beliau melihat Raden Pengantin berpakaian
yang gagah berdiri di geladak kapal itu. Di samping kirinya berdiri
seorang puteri cantik isterinya. Diang Ingsun pun berteriak.
“Raden
Pengantin ! Anakku ! Akhirnya kamu datang juga anakku ! Raden Pengantin !
Inilah aku, ibumu.”
Setelah mendengar teriakan itu
Raden Pengantin melihat ke bawah, dilihatnya wanita tua
berpakaian lusuh dengan tubuh yang bau itu, kemudian hati Raden
Pengantin berubah. Dia merasa sopan melihat wanita tua berpakaian lusuh
itu. Tidak lama dia berpikir, kemudian memutuskan tidak mengakui ibunya
sendiri.
“Bukan !
kamu itu bukan ibuku !” sahut Raden Pengantin. Diang Ingsun terkejut mendengar perkataan
Raden Pengantin.
Ibunya tidak mengira kalau Raden Pengantin
berkata seperti itu, tapi beliau mencoba lagi meyakinkan Raden Pengantin, tetapi dia tetap saja tidak
mengakui ibunya. Pada saat itu dilihatnya benawa mengangkat sauhnya, siap
untuk berangkat meninggalkan desa itu. Diang Ingsun menjadi putus
asa dan hatinya terasa sakit. Air matanya tidak bisa ditahan lagi,
kemudian menangislah beliau, air matanya membasahi pipi beliau yang sudah tua.
Kemudian beliau mengangkat tangan berdo’a dan bersumpah.
“Ya
Tuhanku ! Hanya pada-Mu tempat hamba mengadu tunjukkan kekuasaanMu. Anak
hamba sudah durhaka, tidak mengakui ibunya sendiri, tetapi beginilah akhirnya.”
Do’a
seorang ibu yang tersiksa lahir bathinnya itu rupanya sangat
dikabulkan Allah SWT. Tidak lama langit berubah menjadi gelap, angin bertiup kencang.
Benawa yang hebat milik Raden Pengantin bergoyang sebentar, tapi kemudian
datang angin,topan besar yang menghempaskan benawa besar itu.
Diantara sayup-sayup kedengaran suara-suara minta tolong, benawa yang
besar itu hancur berantakan dan sekejap berubah menjadi batu. Buritan kapal itu
terdampar di desa Diang Ingsun yang setelah itu diberi nama Gunung Batu
Benawa, yaitu gunung menjadi batu, desa Diang Ingsun itu kemudian di beri
nama Pagat (Pagat = Putus) benawa yang berhamburan juga menjadi batu.
Kalau
turun hujan panas maka seekor burung elang tua bersuara rawan dari ketinggian
puncak gunung itu. Menurut kisah, kabarnya burung elang itu jelmaan Diang
Ingsun yang menyesali sumpahnya.
KESIMPULAN
:
Hendaklah kita sebagai seorang anak
jangan berani dengan orang tua terutama ibu yang mengandung kita 9 bulan 9 hari
sampai melahirkan kedunia ini. Bersyukurlah kita kepada Allah SWT dengan
nikmat yang diberikan. Bila kita durhaka dengan orang tua, maka kebahagiaan
tidak didapatkan, melainkan kesedihan dan penderitaan yang kita rasakan
sepanjang hidup, seperti kisah Raden Pangantin.